Beban kewajiban yang diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya
mengandung beberapa kemaslahatan, baik bagi perseorangan maupun bagi
masyarakat. Kemaslahatan suatu beban hanya dirasakan oleh perorangan atau umum
oleh seluruh masyarakat, maka beban tersebut ada yang menjadi hak hamba
(haqqul’ibad) dan ada yang menjadi hak Allah (haqqul-lah) atau hak masyarakat
(haqqul mujtama’).
Para ulama merinci dua hak tersebut
menjadi beberapa macam, yaitu sebagai berikut :
2.1. Hak Allah Yang Murni
Hak Allah yang murni tersebut
mencakup 3 bidang, yaitu :
1.
Ibadah
Ibadah adalah semacam amal untuk
bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah yang dapat dicapai dengan sukses,
lantaran ditaati segala perintah-Nya dan dijauhi larangan-Nya serta disyukuri
kenikmatan – kenikmatan yang telah dikaruniakan-Nya. Para ulama menamakan hak
Allah dengan hak masyarakat, karena Allah tidak menghendaki yang mengenyam
kemaslahatannya hanya perorangan tertentu. Dikatakan hak Allah yang murni
lantaran tidak seorang pun mempunyai hak untuk mengabaikan atau membiarkan
orang untuk melalaikan apalagi menggugurkannya.
Dilihat dari murni dan tidaknya
tujuan beribadah, maka ibadah terdapat dua jenis, yaitu :
a.
Ibadah
mahdhoh
Ibadah mahdhoh bisa disebut juga ibadah murni, seperti shalat
wajib, puasa dan manasik haji.
b.
Ibadah
fiha ma’nal ma’unah
Ibadah fiha ma’nal ma’unah adalah ibadah yang mengandung makna
beban kewajiban. Misalnya mengeluarkan zakat fitrah.
2.
Adhdharaa’ibul
– maaliyah
Adhdharaa’ibul – maaliyah adalah
pajak – pajak harta kekayaan yang mencakup :
a.
Pajak
tanah pertanian
Tanah pertanian adakalanya Al-Ardhul –‘usyriyah dan adakalanya
Al-Ardhul-kharaajiyah.
Al-Ardhul –‘usyriyah adalah tanah milik orang yang memeluk agama
Islam secara taat atau tanah yang dioeroleh ummat Islam melalui perang yang
kemudian dibagi-bagikan kepada yang memperolehnya. Besarnya pajak untuk Ardhul
‘ usyriyah ditetapkan sepersepuluh (10%) atau seperduapuluhnya (5%) mengingat
besar dan kecilnya biaya yang dikeluarkan untuk mengolahnya. Hasil penarikan
pajak ini dimanfaatkan untuk keperluan umum, seperti sumbangan kepada lembaga –
lembaga sosial, bantuan bencana alam, dan pembangunan tempat ibadah, sarana
pendidikan, perekonomia, perhubungan, dan lainnya.
Al-Ardhul – kharaajiyah adalah tanah yang diperoleh kaum muslimin
melalui perang atau perdamaian yang pemiliknya semula masih tetap memilikinya
atau sudah dibagi – bagikan kepada orang – orang non – Muslim yang lain. Orang
yang pertama – tama mengadakan penarikan pajak (kharaj) dari tanah – tanah
tersebut adalah khalifah Umar bin Khaththab r.a. sewaktu menaklukkan negeri
Irak. Semula para pejuang yang berjasa ingin membaginya menjadi lima bagian.
Empat perlima untuk mereka yang berjuang sedang seperlimanya untuk Allah dan
Rasul-Nya, seperti yang berlaku dalam pembagian harta ghonimah (rampasan
perang). Umar berpendapat apabila tanah tersebut dibagi – bagi dan diberikan
kepada para pejuang akan membahayakan kepentingan umum ummat Islam. Sebab yang
wajib untuk dimiliki pada saat itu hanyalah sepersepuluhnya saja dan itu pun
harus diserahkan seperti dalam penyerahan zakat. Oleh karena itu, beliau
berpendapat bahwa tanah tersebut tetap dimiliki dan digarap oleh pemiliknya
dengan menyetorkan jumlah tertentu yang disebut kharaj (pajak), yang akan
dimanfaatkan untuk kemaslahatan umum.
b.
Seperlima
dari harta rampasan perang (ghanimah)
Bagi para pejuang yang memperoleh ghanimah akan mendapat empat
perlimanya dan yang seperlimanya digunakan untuk kepentingan umum, sebagaimana
telah ditetapkan oleh Allah dalam firman-Nya :
Artinya : “
Ketahuilah bahwa apa saja yang kamu peroleh sebagai rampasan perang,maka yang
seperlimanya untuk Allah, Rasul, kerabat
Rasul, anak – anak yatim, orang – orang miskin dan ibnus-sabil . . .”
(al – Anfal : 41).
c.
Seperlima
dari harta yang diperoleh dari perut bumi
Seperlima harta yang diperoleh dari perut bumi, seperti harta
terpendam atau barang – barang tambang (ma’adin). Sebagaimana harta ghanimah, harta
terpendam (kunuz) dan tambang (ma’adin) ini pun dibagu menjadi lima bagian.
Yang empaterlimanya diberikan kepada orang – orang yang menemukannya dan
seperlimanya diserahkan kepada negara untuk dimanfaatkan kepada kepentingan
umum.
d.
Harta
fai’
Harta fai’ yaitu harta yang diperoleh dari musuh tanpa melalui
pertempuran. Pembagian harta fai’ tidak sama dengan pembagian harta ghanimah.
Tetapi semuanya untuk Allah, Rasul, kerabatnya, anak – anak yatim, orang –
orang fakir miskin, dan ibnus sabil. Sebagaimana firman Allah :
Artinya : “ Harta fai’ yang diberikan Allah kepada
Rasul –Nya yang berasal dari warga kota adalah untuk Allah, Rasul-Nya, kerabat
- kerabat Rasul, anak – anak yatim, orang – orang miskin, dan orang – orang
yang dalam perjalanan, agar harta itu tidak beredar diantara orang – orang kaya
dari kamu” (al – Hasyr : 7)
3.
Al –
‘uqubat
Al – ‘uqubat adalah pemberian sanksi
pidana, selain pidana menuduh zina dan pidana qishash. Tindak pidana ini
meliputi :
a.
‘Uqubah
kamilah
‘Uqubah kamilah adalah pidana yang sempurna seperti pidana berzina,
pidana pencurian, pidana pemberontakan. Sanksi – sanksi tindak pidana tersebut
diterapkan demi kepentingan masyarakat banyak.
b.
‘Uqubah
qashirah
‘Uqubah qashirah adalah pidana yang tidak sempurna, seperti pemberian
sanksi diharamkan mempusakai bagi orang yang sengaja membunuh orang yang akan
diwarisi harta peninggalannya.
c.
‘Uqubah
fihaa ma’nal – ‘ibadah
‘Uqubah fihaa ma’nal – ‘ibadah adalah pidana yang mengandung unsur
ibadah, seperti membayar kaffarah bagi orang yang melanggar sumpah, kaffarah
bagi orang yang sengaja memutuskan puasa pada bulan ramadhan dan kaffarah bagi
orang yang membunuh karena khilaf. (Mukhtar Yahya.1986:362-366)
Hal – hal diatas menjadi hak Allah
yang murni yang dibuat untuk merealisir kemaslahatan umum. Orang mukallaf tidak
mempunyai hak memilih apalagi menggugurkannya. Sebab orang mukallaf itu tidak
dapat menggugurkan selain apa yang menjadi haknya. Ia tidak bisa menggugurkan
kewajiban shalat, puasa, zakat, pajak wajib,atau sanksi – sanksi tersebut,
karena semua itu bukanlah haknya. Adapun contoh yang lain diantaranya sebagai
berikut :
a.
Mengutamakan
shalat fardhu daripada shalat sunnah.
b.
Mengutamkan
zakat daripada sedekah sunnah,
c.
Mengakhirkan
puasa bagi mereka yang ada udzur. (Syeikh Izzuddin.2011:220)
2.2. Hak Allah Yang Sederajat
Jika terdapat hak Allah yang
sederajat, seorang hamba bisa melakukan pilihan, seperti :
1.
Jika
seseorang harus mengqadha puasa Ramadhan tahun lalu dan Ramadhan tahun
sekarang, maka boleh memilih mendahulukan salah satunya, dan mengakhirkan yang
lain.
2.
Jika
seseorang yang telah tua dan lemah, dalam keadaan dia berkewajiban membayar
fidyah antara Ramadhan tahun lalu dan tahun sekarang, maka boleh mendahulukan
salah satu dan mengakhirkan yang lain.
3.
Jika
seseorang memiliki dua ekor kambing yang telah dinadzarkan sebagai kurban, atau
berkewajiban terhadap dua zakat,maka boleh memilih mendahulukan salah satu dan
mengakhirkan yang lain. (Syeikh Izzunuddin.2011:222-223)
2.3. Hak Allah Yang Masih Diperselisihkan Derajatnya
Sebagian dari beberapa hak Allah
masih ada yang diperselisihkan, apakah dalam derajat yang sama atau berbeda,
yang keseluruhannya berorientasi mengenai persamaan dan perbedaan
kemaslahatannya. Misalnya :
1.
Seseorang
yang ditahan di tempat yang najis sehingga tidak mampu lagi mencari tempat yang
suci, maka jika dia hendak melaksanakan shalat :
a.
Apakah
dia harus sujud pada tempat yang najis tersebut, yang akan menyempurnakan sujud
yang menjadi rukun shalat ?
b.
Apakah
dalam sujudnya hanya sebatas mendekati tempat sujud sehingga tidak terkena
najis ?
c.
Apakah
dia bisa melakukan pilihan antara keduanya ?
Di sini terdapat tiga pendapat. Jika
najis tersebut basah, sebagian ulama memutuskan tidak boleh meletakkan kening
pada najis yang akan menyebabkan dirinya terkena najis secara terus – menerus
di dalam shalat.
2.
Seseorang
hanya memiliki satu pakaian namun terkena najis.
a.
Apakah
dia harus shalat dengan telanjang untuk menghindari najis ?
b.
Apakah
harus mengenakan pakaian itu demi menjaga auratnya ?
c.
Apakah
diperbolehkan memlih antara keduanya ? ( Syeikh Izzuddin. 2011:224)
2.4. Mendahulukan Hak Allah Daripada Hak Hamba
Hak
Allah ada yang lebih diprioritaskan daripada hak hamba dimana akan membawa
keuntungan terhadap hamba itu sendiri diakhirat nanti, sebagai contoh :
1.
Pidana
had menuduh zina. Dilihat dari segi memelihara kehormatan manusia dan
mnghindari permusuhan antar sesama manusia maka pemberian hukuman had bagi
penuduh zina merupakan kemaslahatan masyarakat, karena itu menjadi hak Allah.
Dilihat dari segi bahwa ia dapat menolak tuduhan keji yang dilemparkan kepada
wanita yang baik dan menyatakan kemuliaannya dan keterpeliharaannya dari
berbuat ma’shiat, merupakan kemaslahatan perorangan. Karena itu menjadi hak
orang yang memperoleh manfaat. Akan tetapi, segi yang pertama dalam pemberian
hukuman had ini lebih menonjol sehingga hak Allah lebih kuat, maka bagi wanita
yang tertuduh tidak dapat menggugurkan had (mengampuni) penuduhnya dan tidak
dapat pula melaksanakan had sendiri. Demikian juga bagi penuduhnya tidak dapat
juga menjadi hakim sendiri. Pemberian had itu menjadi hak Allah yang dalam hal
ini pelaksanaannya dilakukan oleh Negara. (Mukhtar Yahya.1986:366-367)
2.
Mendahulukan
shalat fardhu tatkala waktu btelah sempit daripada bersenang – senang, makan,
minum, dan berbagai macam tasaruf yang lain. Adapun mendahulukan keselamatan
orang yang kecelakaan dan mengakhirkan shalat fardhu, akan termasuk
mendahulukan hak Allah dan hak hamba serta mengakhirkan shalat.
3.
Mendahulukan
zakat daripada hajat yang lain.
4.
Mengharamkan
menggauli wanita tatkala haid dalam segala kondisi terkecuali dalam kondisi
darurat.
5.
Menyerahkan
harta dan jiwa untuk memerangi orang kafir yang akan mengakibatkan hilangnya
jiwa atau harta itu sendiri. (Syeikh Izzuddin. 2011:226)
2.5. Mendahulukan Hak Hamba Daripada Hak Allah
Sebagian hak hamba ada yang lebih
diprioritaskan daripada hak Allah, demi kasihan terhadap hamba ketika di dunia,
sebagai contoh sebagai berikut:
1.
Pidana
qishash bagi orang yang membunuh dengan sengaja. Ditinjau dari segi bahwa ia mengandung
pemeliharaan atas kehidupan dan pengamananatas jiwa manusia adalah merupakan
kemaslahatan bagi masyarakat. Karena itu menjadi hak Allah. Sedangkan jika
ditinjau dari segi bahwa ia dapat memadamkan api kemarahan dan mengobati hati yang hendak menuntut
balas, ia merupakan kemaslahatan bagi perorangan. Karena itu menjadi hak bagi
orang yang terkena musibah. Akan tetapi, segi yang terakhir ini lebih kuat,
sehingga si pembunuh tidak dijatuhi hukuman qishash jika tidak dituntut oleh
wali si korban. Si wali dapat melaksanakan haknya dan dapat pula mengampuni
pembunuhnya. (Mukhtar Yahya.1986:367)
2.
Meninggalkan
shalat, puasa, atau hak Allah yang lain yang semestinya dilakukan
denganbergegas. Semuanya bisa ditinggalkan jika dalam kondisi terpaksa atau
darurat.
3.
Boleh
mundur ketika berkecamuknya perang jika jumlah orang kafir melebihi orang
Islam, sedangkan siasat kedua belah pihak sebanding. (Syeikh Izzuddin.
2011:228)
2.6. Hak Allah dan Hak Hamba Yang Masih Diperselisihkan
Hak Allah dan hak hamba masih ada yang
diperselisihkan, mana yang harus didahulukan, misalnya :
1.
Jika
seseorang yang meninggal masih mempunyai tanggungan hutang dan zakat. Ketika
itu harta zakat masih utuh, maka zakat harus didahulukan, karena hubungan zakat
dengan nishabnya adalah sebagaimana hubungan hutang dan barang yang dijadikan
jaminan. Kemudian jika harta zakat telah habis, disini terjadi perbedaan antara
para ulama. Sebagian ulama mengatakan bahwa pembayaran hutang harus didahulukan
karena melihat keunggulan hak hamba. Dan sebagian ulama lainnya mempersamakan
antara membayar hutang dan zakat, sebab kemaslahatan keduanya tampak sebanding.
Sebagian ulama ada yang mendahulukan pembayaran zakat, karena melihat
keunggulan kemaslahatn hak Allah. Yang terakhir ini sebagai pendapat yang terpilih
karena berdasarkan hadits :
Artinya : “ Maka hutang Allah akan lebih berhak ditunaikan”
Didalam zakat terdapat dua hak yaitu hak Allah dan hak hamba yang
menyangkut fakir misikin yang lebih didahulukan.
2. Jika seseorang yang telah
berkewajiban haji meninggalkan kewajibannya, kemudian dia menanggung hutang.
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Ada yanng mendahulukan kewajiban
haji berdasarkan nash yang disabdakan Rasulullah SAW, sebagian ulama
mendahulukan membayar hutang, dan ada yang mempersamakan antara keduanya.
(Syeikh Izzuddin.2011:229-230)
2.7. Hak Hamba Yang Murni
Hak – hak orang mukallaf yang murni
mencakup hak – hak kebendaan dan hak – hak yang berkaitan dengan kebendaan.
Misalnya menerima harga barang yang dijual, menerima upah kerja, menerima ganti
rugi suatu barang yang rusak, hak beli atas tanah milik tetangga, menahan
barang yang dijadikan jaminan hutang agar segera dibayar piutangnya dan
menerima pembayaran hutang bagi kreditur. Semua itu adalah hak mukallaf yang
bersangkutan. Mereka dapat memilih antara dilaksanakan hak – hak tersebut atau
tidak. Sebab mereka mimiliki hak penuh atas penggunaan haknya. (Mukhtar Yahya.1986:367)
2.8. Mendahulukan Hak Hamba Yang Sederajat
Jika ada beberapa hak hamba yang
sederajat, seorang mukallaf bisa melakukan pilihan. Misalnya :
1.
Nikah
atau menikahkan oleh para wali tatkala mereka telah mendapat izin dari wanita
yang akan dinikahkan ketika para wali dalam derajat yang sama.
2.
Membagi
sama mengenai waktu dan nafkah beberapa istri oleh seorang suami.
3.
Membagi
rata antara hak orang berserikat terhadap harta serikat. (Syeikh
Izzuddin.2011:225)
2.9. Ibadah Yang Diberi Pahala
Ibadah
wajib atau sunnah terdapat beberapa bagian yaitu :
1.
Ibadah
yang telah diperlihatkan bentuknya oleh Allah, seperti ma’rifat, iman, adzan,
tasbih, membaca Al-Qur’an dan lain- lain. Dalam melaksanakan ibadah ini akan
diberi pahala.
2.
Ibadah
yang belum diperlihatkan oleh Alla, namun diperintahkan syari’at sebagai
taqarrub. Dlam bidang ini tidak akan ada pahala terkecuali bila telah mengandung
dua niat yaitu :
a.
Niat
mewujudkan pekerjaan tersebut.
b.
Niat
taqarrub yaitu mendekatkan diri kepada Allah.
3.
Ibadah
yang diperintahkan syari’at untuk menghasilkan kemaslahatan dunia saja, dalam
arti tidak ada hubungan dengan kemaslahatan akhirat, seperti bercocok tanam,
memintal benang, dan berbagai aktivitas industri yang akan menopang kehidupan.
Seluruh aktivitas tersebut tidak akan diberi pahala terkecuali jika
telah ada niat taqarrub kepada Allah, karena Dia tidak akan memberi pahala
terhadap amal, terkecuali jika pelaku bermaksud taqarrub kepada-Nya. Jika
seseorang telah berniat taqarrub, namun aktivitasnya bukan merupakan ibadah,
maka dia diberi pahala atas perbuatannya dan tidak ada pahala atas
kesengajaannya, seperti tidut di permulaan malam dengan maksud agar menguatkan
ibadah ditengah malam. Jika seseorang berniat melakukan kemaksiatan, yang pada
hakikatnya bukan kemaksiatan, dia tetap akan mendapat siksa atas
kesengajaannya, bukan atas perbuatannya, sebagaimana jika seseorang brmaksud
memakan makanan yan disangkanya milik orang lain, namun ternyata milik dirinya
sendiri, maka dia akan disiksa atas maksudnya dan tidak ada siksa atas
perbuatannya. (Syeikh Izzuddin. 2011: 230)
Tag :
agama
0 Komentar untuk "Hak Allah dan Mukallaf"