PUSAT ILMU PENGETAHUAN DAN AGAMA

Bidadari Berselendang Perisai



Bidadari Berselendang Perisai


Dentingan waktu kian mendera . . . .
Jeritan pukulan adat menghela
Bahkan campur tangan orang tua yang begitu memaksa
Aroma kegigihanmu semerbak kesegaran sakura . . . .
Harmoni tulisan tanganmu terukir sejuta tekad kaum wanita . .
Dalam dekapan tradisi kau teguh memberontak, begitu yakin, kau tahu . . .
Keperempuanan tak sanggup membatasi takdir manapun . . .
Tak berarti bila kau dilahirkan sebagai wanita
Perjuanganpun disalah tafsirkan . .
Diantara gerumulan lelaki perkosa . . .
Berdiri engkau lembut kelam . . .
Kau bungkus dalam – dalam tradisi pemincang kakimu . .
Membangun ketekunan, guna mencari batu loncat menuju karakter emansipasi . . .
Meski jalan yang kau tempuh gelap dan licin terdapat batu sandungan yang mencabik kakimu. . .
Tanpa alasan mereka memasang jaring dijalanmu
Kau gali pelubang untuk nyawamu . . .
Menggertak setiap pasang mata yang megusik . . .
Kau bela jeritan kaummu yang lemah dimata mereka . . .
Kau junjung puluhan ribu, hingga bahkan jutaan kepala tanpa rasa bimbang . . .
Kefasikan orang – orang yang mengikat takdirmu, sebagai wanita . . .
Kau sapu habis dengan kobaran rancangan bagi kami, golongan penerusmu . . .
“Kau hajar habis pepohonan yang memagarimu
“Kau tinggalkan topeng wanita yang dipandang lemah . . .
Untaian kata –katamu gigih,
Guna merajut cita yang telah terkubur dalam ingatan . . .
Pakaian lembut yang membungkus tubuhmu . . .
Tak berarti mencerminkan karaktermu yang begitu anggun . . .
Melenyapkan setiap api yang mengusikmu . . .
Menghardik seluruh kiasan yang mengadilimu. . .
Agar memperlakukanmu setara dengan bukit hijau berterbangan merapi putih, berdarah rajawali
Bukan sampah serapah yang terkuak dari mulutmu, lelaki berkata :
“Kau hanya mampu menghujani lading ini dengan air matamu”
Kartini menjawab :
“Hati ini memang kecil tetapi cukup kuat untuk menggoyahkan setiap mulut yang menghadang”
Orang tua berkata :
“Tak mudah kau geluti adat dan takdirmu yang mengancam.”
Kartini menjawab :
“Ayah, tangan ini memang dingin, akan tetapi cukup panas untuk menghanguskan setiap kekhawatiranmu,
Ibu, kaki ini memang manis, tapi tak akan gemetar untuk menggertak kumpulan tawa penindasan !!!”
Mereka berkata :
“Kau hidup sebagai wanita tanpa kekuatan, tak semudah air yang mengalir dari tempat tinggi ketempat yang lebih rendah . . .”
Kartini menjawab :
“Roda kehidupan memang penuh kepura – puraan tetapi tekadku tak pernah berdusta.”
Cacian hingga makian kau dapati . . .
“Aku ini hanyalah seorang wanita, lantas bisa apa?”
Bundaku ialah Kartini . . .
Lewat tulisan – tulisan kecimu, kan ku pandang kaku sebagai Bidadari Berselendang Perisai . . .

Tag : puisi
0 Komentar untuk "Bidadari Berselendang Perisai"

Back To Top