Majnun (Qais) dan Laila
Alkisah, seorang kepala suku Bani
Umar di Jazirah Arab memiliki segala macam yang diinginkan orang, kecuali satu
hal bahwa ia tak punya seorang anakpun. Tabib-tabib di desa itu menganjurkan
berbagai macam ramuan dan obat, tetapi tidak berhasil.
Ketika semua usaha tampak tak
berhasil, istrinya menyarankan agar mereka berdua bersujud di hadapan Tuhan dan
dengan tulus memohon kepada Allah swt memberikan anugerah kepada mereka berdua.
“Mengapa tidak?” jawab sang kepala suku. “Kita telah mencoba berbagai macam
cara. Mari, kita coba sekali lagi, tak ada ruginya.”
Mereka pun bersujud kepada ALLAH,
sambil berurai air mata dari relung hati mereka yang terluka. “Wahai Segala
Kekasih, jangan biarkan pohon kami tak berbuah. Izinkan kami merasakan manisnya
menimang anak dalam pelukan kami. Anugerahkan kepada kami tanggung jawab untuk
membesarkan seorang manusia yang baik. Berikan kesempatan kepada kami untuk
membuat-Mu bangga akan anak kami.”
Tak lama kemudian, doa mereka
dikabulkan, dan ALLAH menganugerahi mereka seorang anak laki-laki yang diberi
nama Qais. Sang ayah sangat berbahagia, sebab Qais dicintai oleh semua orang.
Ia tampan, bermata besar, dan berambut hitam, yang menjadi pusat perhatian dan
kekaguman.
Sejak awal, Qais telah
memperlihatkan kecerdasan dan kemampuan fisik istimewa. Ia punya bakat luar
biasa dalam mempelajari seni berperang dan memainkan musik, menggubah syair dan
melukis.
Ketika sudah cukup umur untuk masuk
sekolah, ayahnya memutuskan membangun sebuah sekolah yang indah dengan guru-guru
terbaik di Arab yang mengajar di sana , dan hanya beberapa anak saja yang
belajar di situ. Anak-anak lelaki dan perempuan dan keluarga terpandang di
seluruh jazirah Arab belajar di sekolah baru ini.
Di antara mereka ada seorang anak
perempuan dari kepala suku tetangga. Seorang gadis bermata indah, yang memiliki
kecantikan luar biasa. Rambut dan matanya sehitam malam; karena alasan inilah
mereka menyebutnya Laila-”Sang Malam”. Meski ia baru berusia dua belas tahun,
sudah banyak pria melamarnya untuk dinikahi, sebab-sebagaimana lazimnya
kebiasaan di zaman itu, gadis-gadis sering dilamar pada usia yang masih sangat
muda, yakni sembilan tahun.
Laila dan Qais adalah teman sekelas.
Sejak hari pertama masuk sekolah, mereka sudah saling tertarik satu sama lain.
Seiring dengan berlalunya waktu, percikan ketertarikan ini makin lama menjadi
api cinta yang membara. Bagi mereka berdua, sekolah bukan lagi tempat belajar.
Kini, sekolah menjadi tempat mereka
saling bertemu. Ketika guru sedang mengajar, mereka saling berpandangan. Ketika
tiba waktunya menulis pelajaran, mereka justru saling menulis namanya di atas
kertas. Bagi mereka berdua, tak ada teman atau kesenangan lainnya. Dunia kini
hanyalah milik Qais dan Laila.
Mereka buta dan tuli pada yang
lainnya. Sedikit demi sedikit, orang-orang mulai mengetahui cinta mereka, dan
gunjingan-gunjingan pun mulai terdengar. Di zaman itu, tidaklah pantas seorang
gadis dikenal sebagai sasaran cinta seseorang dan sudah pasti mereka tidak akan
menanggapinya. Ketika orang-tua Laila mendengar bisik-bisik tentang anak gadis
mereka, mereka pun melarangnya pergi ke sekolah. Mereka tak sanggup lagi
menahan beban malu pada masyarakat sekitar.
Ketika Laila tidak ada di ruang
kelas, Qais menjadi sangat gelisah sehingga ia meninggalkan sekolah dan
menyelusuri jalan-jalan untuk mencari kekasihnya dengan memanggil-manggil
namanya. Ia menggubah syair untuknya dan membacakannya di jalan-jalan.
Ia hanya berbicara tentang Laila dan
tidak juga menjawab pertanyaan orang-orang kecuali bila mereka bertanya tentang
Laila. Orang-orang pun tertawa dan berkata, ” Lihatlah Qais , ia sekarang telah
menjadi seorang majnun, gila!”
Akhirnya, Qais dikenal dengan nama
ini, yakni “Majnun”. Melihat orang-orang dan mendengarkan mereka berbicara
membuat Majnun tidak tahan. Ia hanya ingin melihat dan berjumpa dengan Laila
kekasihnya. Ia tahu bahwa Laila telah dipingit oleh orang tuanya di rumah, yang
dengan bijaksana menyadari bahwa jika Laila dibiarkan bebas bepergian, ia pasti
akan menjumpai Majnun.
Majnun menemukan sebuah tempat di
puncak bukit dekat desa Laila dan membangun sebuah gubuk untuk dirinya yang
menghadap rumah Laila. Sepanjang hari Majnun duduk-duduk di depan gubuknya,
disamping sungai kecil berkelok yang mengalir ke bawah menuju desa itu.
Ia berbicara kepada air,
menghanyutkan dedaunan bunga liar, dan Majnun merasa yakin bahwa sungai itu
akan menyampaikan pesan cintanya kepada Laila. Ia menyapa burung-burung dan
meminta mereka untuk terbang kepada Laila serta memberitahunya bahwa ia dekat.
Ia menghirup angin dari barat yang
melewati desa Laila. Jika kebetulan ada seekor anjing tersesat yang berasal
dari desa Laila, ia pun memberinya makan dan merawatnya, mencintainya
seolah-olah anjing suci, menghormatinya dan menjaganya sampai tiba saatnya
anjing itu pergi jika memang mau demikian. Segala sesuatu yang berasal dari
tempat kekasihnya dikasihi dan disayangi sama seperti kekasihnya sendiri.
Bulan demi bulan berlalu dan Majnun
tidak menemukan jejak Laila. Kerinduannya kepada Laila demikian besar sehingga
ia merasa tidak bisa hidup sehari pun tanpa melihatnya kembali. Terkadang
sahabat-sahabatnya di sekolah dulu datang mengunjunginya, tetapi ia berbicara
kepada mereka hanya tentang Laila, tentang betapa ia sangat kehilangan dirinya.
Suatu hari, tiga anak laki-laki,
sahabatnya yang datang mengunjunginya demikian terharu oleh penderitaan dan
kepedihan Majnun sehingga mereka bertekad membantunya untuk berjumpa kembali
dengan Laila. Rencana mereka sangat cerdik. Esoknya, mereka dan Majnun
mendekati rumah Laila dengan menyamar sebagai wanita. Dengan mudah mereka
melewati wanita-wanita pembantu dirumah Laila dan berhasil masuk ke pintu
kamarnya.
Majnun masuk ke kamar, sementara
yang lain berada di luar berjaga-jaga. Sejak ia berhenti masuk sekolah, Laila
tidak melakukan apapun kecuali memikirkan Qais. Yang cukup mengherankan, setiap
kali ia mendengar burung-burung berkicau dari jendela atau angin berhembus
semilir, ia memejamkan.matanya sembari membayangkan bahwa ia mendengar suara
Qais didalamnya.
Ia akan mengambil dedaunan dan bunga
yang dibawa oleh angin atau sungai dan tahu bahwa semuanya itu berasal dari
Qais. Hanya saja, ia tak pernah berbicara kepada siapa pun, bahkan juga kepada
sahabat-sahabat terbaiknya, tentang cintanya.
Pada hari ketika Majnun masuk ke
rumah Laila, ia merasakan kehadiran dan kedatangannya. Ia mengenakan pakaian
sutra yang sangat bagus dan indah. Rambutnya dibiarkan lepas tergerai dan
disisir dengan rapi di sekitar bahunya. Matanya diberi celak hitam, sebagaimana
kebiasaan wanita Arab, dengan bedak hitam yang disebut surmeh.
Bibirnya diberi yang seperti
lipstick merah, dan pipinya yang kemerah-merahan tampak menyala serta
menampakkan kegembiraannya. Ia duduk di depan pintu dan menunggu. Ketika Majnun
masuk, Laila tetap duduk. Sekalipun sudah diberitahu bahwa Majnun akan datang,
ia tidak percaya bahwa pertemuan itu benar-benar terjadi.
Majnun berdiri di pintu selama
beberapa menit, memandangi, sepuas-puasnya wajah Laila. Akhirnya, mereka
bersama lagi! Tak terdengar sepatah kata pun, kecuali detak jantung kedua orang
yang dimabuk cinta ini. Mereka saling berpandangan dan lupa waktu.
Salah seorang wanita pembantu di
rumah itu melihat sahabat-sahabat Majnun di luar kamar tuan putrinya. Ia mulai
curiga dan memberi isyarat kepada salah seorang pengawal. Namun, ketika ibu
Laila datang menyelidiki, Majnun dan kawan-kawannya sudah jauh pergi. Sesudah
orang-tuanya bertanya kepada Laila, maka tidak sulit bagi mereka mengetahui apa
yang telah terjadi. Kebisuan dan kebahagiaan yang terpancar dimatanya
menceritakan segala sesuatunya.
Sesudah terjadi peristiwa itu, ayah
Laila menempatkan para pengawal di setiap pintu di rumahnya. Tidak ada jalan
lain bagi Majnun untuk menghampiri rumah Laila, bahkan dari kejauhan sekalipun.
Akan tetapi jika ayahnya berpikiran bahwa, dengan bertindak hati-hati ini ia
bisa mengubah perasaan Laila dan Majnun, satu sama lain, sungguh ia salah
besar.
Ketika ayah Majnun tahu tentang
peristiwa di rumah Laila, ia memutuskan untuk mengakhiri drama itu dengan
melamar Laila untuk anaknya. Ia menyiapkan sebuah kafilah penuh dengan hadiah
dan mengirimkannya ke desa Laila. Sang tamu pun disambut dengan sangat baik,
dan kedua kepala suku itu berbincang-bincang tentang kebahagiaan anak-anak
mereka.
Ayah Majnun lebih dulu berkata,
“Engkau tahu benar, kawan, bahwa ada dua hal yang sangat penting bagi
kebahagiaan, yaitu “Cinta dan Kekayaan”.
Anak lelakiku mencintai anak
perempuanmu, dan aku bisa memastikan bahwa aku sanggup memberi mereka cukup
banyak uang untuk mengarungi kehidupan yang bahagia dan menyenangkan. Mendengar
hal itu, ayah Laila pun menjawab, “Bukannya aku menolak Qais.
Aku percaya kepadamu, sebab engkau
pastilah seorang mulia dan terhormat,” jawab ayah Laila. “Akan tetapi, engkau
tidak bisa menyalahkanku kalau aku berhati-hati dengan anakmu. Semua orang tahu
perilaku abnormalnya. Ia berpakaian seperti seorang pengemis.
Ia pasti sudah lama tidak mandi dan
iapun hidup bersama hewan-hewan dan menjauhi orang banyak. “Tolong katakan
kawan, jika engkau punya anak perempuan dan engkau berada dalam posisiku,
akankah engkau memberikan anak perempuanmu kepada anakku?”
Ayah Qais tak dapat membantah. Apa
yang bisa dikatakannya? Padahal, dulu anaknya adalah teladan utama bagi
awan-kawan sebayanya? Dahulu Qais adalah anak yang paling cerdas dan berbakat
di seantero Arab? Tentu saja, tidak ada yang dapat dikatakannya.
Bahkan, sang ayahnya sendiri susah
untuk mempercayainya. Sudah lama orang tidak mendengar ucapan bermakna dari
Majnun. “Aku tidak akan diam berpangku tangan dan melihat anakku menghancurkan
dirinya sendiri,” pikirnya. “Aku harus melakukan sesuatu.”
Ketika ayah Majnun kembali pulang,
ia menjemput anaknya, Ia mengadakan pesta makan malam untuk menghormati
anaknya. Dalam jamuan pesta makan malam itu, gadis-gadis tercantik di seluruh
negeri pun diundang. Mereka pasti bisa mengalihkan perhatian Majnun dari Laila,
pikir ayahnya.
Di pesta itu, Majnun diam dan tidak
mempedulikan tamu-tamu lainnya. Ia duduk di sebuah sudut ruangan sambil melihat
gadis-gadis itu hanya untuk mencari pada diri mereka berbagai kesamaan dengan
yang dimiliki Laila. Seorang gadis mengenakan pakaian yang sama dengan milik
Laila; yang lainnya punya rambut panjang seperti Laila, dan yang lainnya lagi
punya senyum mirip Laila.
Namun, tak ada seorang gadis pun
yang benar-benar mirip dengannya, Malahan, tak ada seorang pun yang memiliki
separuh kecantikan Laila. Pesta itu hanya menambah kepedihan perasaan Majnun
saja kepada kekasihnya. Ia pun berang dan marah serta menyalahkan setiap orang
di pesta itu lantaran berusaha mengelabuinya.
Dengan berurai air mata, Majnun
menuduh orang-tuanya dan sahabat-sahabatnya sebagai berlaku kasar dan kejam
kepadanya. Ia menangis sedemikian hebat hingga akhirnya jatuh ke lantai dalam
keadaan pingsan. Sesudah terjadi petaka ini, ayahnya memutuskan agar Qais
dikirim untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah dengan harapan bahwa Allah akan
merahmatinya dan membebaskannya dari cinta yang menghancurkan ini.
Di Makkah, untuk menyenangkan
ayahnya, Majnun bersujud di depan altar Kabah, tetapi apa yang ia mohonkan?
“Wahai Yang Maha Pengasih, Raja Diraja Para Pecinta, Engkau yang
menganugerahkan cinta, aku hanya mohon kepada-Mu satu hal saja,”Tinggikanlah
cintaku sedemikian rupa sehingga, sekalipun aku binasa, cintaku dan kekasihku
tetap hidup.” Ayahnya kemudian tahu bahwa tak ada lagi yang bisa ia lakukan
untuk anaknya.
Usai menunaikan ibadah haji, Majnun
yang tidak mau lagi bergaul dengan orang banyak di desanya, pergi ke pegunungan
tanpa memberitahu di mana ia berada. Ia tidak kembali ke gubuknya. Alih-alih
tinggal dirumah, ia memilih tinggal direruntuhan sebuah bangunan tua yang
terasing dari masyarakat dan tinggal didalamnya.
Sesudah itu, tak ada seorang pun
yang mendengar kabar tentang Majnun. Orang-tuanya mengirim segenap sahabat dan
keluarganya untuk mencarinya. Namun, tak seorang pun berhasil menemukannya.
Banyak orang berkesimpulan bahwa Majnun dibunuh oleh binatang-binatang gurun
sahara. Ia bagai hilang ditelan bumi.
Suatu hari, seorang musafir melewati
reruntuhan bangunan itu dan melihat ada sesosok aneh yang duduk di salah sebuah
tembok yang hancur. Seorang liar dengan rambut panjang hingga ke bahu,
jenggotnya panjang dan acak-acakan, bajunya compang-camping dan kumal. Ketika
sang musafir mengucapkan salam dan tidak beroleh jawaban, ia mendekatinya. Ia
melihat ada seekor serigala tidur di kakinya.
“Hus” katanya, ‘Jangan bangunkan
sahabatku.” Kemudian, ia mengedarkan pandangan ke arah kejauhan. Sang musafir
pun duduk di situ dengan tenang. Ia menunggu dan ingin tahu apa yang akan
terjadi. Akhimya, orang liar itu berbicara. Segera saja ia pun tahu bahwa ini
adalah Majnun yang terkenal itu, yang berbagai macam perilaku anehnya
dibicarakan orang di seluruh jazirah Arab.
Tampaknya, Majnun tidak kesulitan
menyesuaikan diri dengan kehidupan dengan binatang-binatang buas dan liar.
Dalam kenyataannya, ia sudah menyesuaikan diri dengan sangat baik sehingga
lumrah-lumrah saja melihat dirinya sebagai bagian dari kehidupan liar dan buas
itu.
Berbagai macam binatang tertarik
kepadanya, karena secara naluri mengetahui bahwa Majnun tidak akan mencelakakan
mereka. Bahkan, binatang-binatang buas seperti serigala sekalipun percaya pada
kebaikan dan kasih sayang Majnun. Sang musafir itu mendengarkan Majnun
melantunkan berbagai kidung pujiannya pada Laila.
Mereka berbagi sepotong roti yang
diberikan olehnya. Kemudian, sang musafir itu pergi dan melanjutkan
petjalanannya. Ketika tiba di desa Majnun, ia menuturkan kisahnya pada
orang-orang. Akhimya, sang kepala suku, ayah Majnun, mendengar berita itu. Ia
mengundang sang musafir ke rumahnya dan meminta keteransran rinci darinya.
Merasa sangat gembira dan bahagia bahwa Majnun masih hidup, ayahnya pergi ke
gurun sahara untuk menjemputnya.
Ketika melihat reruntuhan bangunan
yang dilukiskan oleh sang musafir itu, ayah Majnun dicekam oleh emosi dan
kesedihan yang luar biasa. Betapa tidak! Anaknya terjerembab dalam keadaan
mengenaskan seperti ini. “Ya Tuhanku, aku mohon agar Engkau menyelamatkan
anakku dan mengembalikannya ke keluarga kami,” jerit sang ayah menyayat hati.
Majnun mendengar doa ayahnya dan segera keluar dari tempat persembunyiannya.
Dengan bersimpuh dibawah kaki
ayahnya, ia pun menangis, “Wahai ayah, ampunilah aku atas segala kepedihan yang
kutimbulkan pada dirimu. Tolong lupakan bahwa engkau pernah mempunyai seorang
anak, sebab ini akan meringankan beban kesedihan ayah. Ini sudah nasibku
mencinta, dan hidup hanya untuk mencinta.” Ayah dan anak pun saling berpelukan
dan menangis. Inilah pertemuan terakhir mereka.
Keluarga Laila menyalahkan ayah
Laila lantaran salah dan gagal menangani situasi putrinya. Mereka yakin bahwa
peristiwa itu telah mempermalukan seluruh keluarga. Karenanya, orangtua Laila
memingitnya dalam kamamya. Beberapa sahabat Laila diizinkan untuk
mengunjunginya, tetapi ia tidak ingin ditemani. Ia berpaling kedalam hatinya,
memelihara api cinta yang membakar dalam kalbunya.
Untuk mengungkapkan segenap
perasaannya yang terdalam, ia menulis dan menggubah syair kepada kekasihnya
pada potongan-potongan kertas kecil. Kemudian, ketika ia diperbolehkan
menyendiri di taman, ia pun menerbangkan potongan-potongan kertas kecil ini dalam
hembusan angin. Orang-orang yang menemukan syair-syair dalam potongan-potongan
kertas kecil itu membawanya kepada Majnun. Dengan cara demikian, dua kekasih
itu masih bisa menjalin hubungan.
Karena Majnun sangat terkenal di
seluruh negeri, banyak orang datang mengunjunginya. Namun, mereka hanya
berkunjung sebentar saja, karena mereka tahu bahwa Majnun tidak kuat lama
dikunjungi banyak orang. Mereka mendengarkannya melantunkan syair-syair indah
dan memainkan serulingnya dengan sangat memukau.
Sebagian orang merasa iba kepadanya;
sebagian lagi hanya sekadar ingin tahu tentang kisahnya. Akan tetapi, setiap
orang mampu merasakan kedalaman cinta dan kasih sayangnya kepada semua makhluk.
Salah seorang dari pengunjung itu adalah seorang ksatria gagah berani bernama
‘Amar, yang berjumpa dengan Majnun dalam perjalanannya menuju Mekah. Meskipun
ia sudah mendengar kisah cinta yang sangat terkenal itu di kotanya, ia ingin
sekali mendengarnya dari mulut Majnun sendiri.
Drama kisah tragis itu membuatnya
sedemikian pilu dan sedih sehingga ia bersumpah dan bertekad melakukan apa saja
yang mungkin untuk mempersatukan dua kekasih itu, meskipun ini berarti
menghancurkan orang-orang yang menghalanginya! Kaetika Amr kembali ke kota
kelahirannya, Ia pun menghimpun pasukannya. Pasukan ini berangkat menuju desa
Laila dan menggempur suku di sana tanpa ampun. Banyak orang yang terbunuh atau
terluka.
Ketika pasukan ‘Amr hampir
memenangkan pertempuran, ayah Laila mengirimkan pesan kepada ‘Amr, “Jika engkau
atau salah seorang dari prajuritmu menginginkan putriku, aku akan
menyerahkannya tanpa melawan. Bahkan, jika engkau ingin membunuhnya, aku tidak
keberatan. Namun, ada satu hal yang tidak akan pernah bisa kuterima, jangan
minta aku untuk memberikan putriku pada orang gila itu”.
Majnun mendengar pertempuran itu
hingga ia bergegas kesana. Di medan pertempuran, Majnun pergi ke sana kemari
dengan bebas di antara para prajurit dan menghampiri orang-orang yang terluka
dari suku Laila. Ia merawat mereka dengan penuh perhatian dan melakukan apa saja
untuk meringankan luka mereka.
Amr pun merasa heran kepada Majnun,
ketika ia meminta penjelasan ihwal mengapa ia membantu pasukan musuh, Majnun
menjawab, “Orang-orang ini berasal dari desa kekasihku. Bagaimana mungkin aku
bisa menjadi musuh mereka?” Karena sedemikian bersimpati kepada Majnun, ‘Amr
sama sekali tidak bisa memahami hal ini.
Apa yang dikatakan ayah Laila
tentang orang gila ini akhirnya membuatnya sadar. Ia pun memerintahkan
pasukannya untuk mundur dan segera meninggalkan desa itu tanpa mengucapkan
sepatah kata pun kepada Majnun.
Laila semakin merana dalam penjara
kamarnya sendiri. Satu-satunya yang bisa ia nikmati adalah berjalan-jalan di
taman bunganya. Suatu hari, dalam perjalanannya menuju taman, Ibn Salam,
seorang bangsawan kaya dan berkuasa, melihat Laila dan serta-merta jatuh cinta
kepadanya.
Tanpa menunda-nunda lagi, ia segera
mencari ayah Laila. Merasa lelah dan sedih hati karena pertempuran yang baru
saja menimbulkan banyak orang terluka di pihaknya, ayah Laila pun menyetujui
perkawinan itu. Tentu saja, Laila menolak keras. Ia mengatakan kepada ayahnya,
“Aku lebih senang mati ketimbang kawin dengan orang itu.”
Akan tetapi, tangisan dan
permohonannya tidak digubris. Lantas ia mendatangi ibunya, tetapi sama saja
keadaannya. Perkawinan pun berlangsung dalam waktu singkat. Orangtua Laila
merasa lega bahwa seluruh cobaan berat akhirnya berakhir juga.
Akan tetapi, Laila menegaskan kepada
suaminya bahwa ia tidak pernah bisa mencintainya. “Aku tidak akan pernah
menjadi seorang istri,” katanya. “Karena itu, jangan membuang-buang waktumu.
Carilah seorang istri yang lain. Aku yakin, masih ada banyak wanita yang bisa
membuatmu bahagia.”
Sekalipun mendengar kata-kata dingin
ini, Ibn Salam percaya bahwa, sesudah hidup bersamanya beberapa waktu larnanya,
pada akhirnya Laila pasti akan menerimanya. Ia tidak mau memaksa Laila,
melainkan menunggunya untuk datang kepadanya.
Ketika kabar tentang perkawinan
Laila terdengar oleh Majnun, ia menangis dan meratap selama berhari-hari. Ia
melantunkan lagu-Iagu yang demikian menyayat hati dan mengharu biru kalbu
sehingga semua orang yang mendengarnya pun ikut menangis. Derita dan
kepedihannya begitu berat sehingga binatang-binatang yang berkumpul di
sekelilinginya pun turut bersedih.
Namun, kesedihannya ini tak
berlangsung lama, sebab tiba-tiba Majnun merasakan kedamaian dan ketenangan
batin yang aneh. Seolah-olah tak terjadi apa-apa, ia pun terus tinggal di
reruntuhan itu. Perasaannya kepada Laila tidak berubah dan malah menjadi
semakin lebih dalam lagi.
Dengan penuh ketulusan, Majnun
menyampaikan ucapan selamat kepada Laila atas perkawinannya: “Semoga kalian
berdua selalu berbahagia di dunia ini. Aku hanya meminta satu hal sebagai tanda
cintamu, janganlah engkau lupakan namaku, sekalipun engkau telah memilih orang
lain sebagai pendampingmu. Janganlah pernah lupa bahwa ada seseorang yang,
meskipun tubuhnya hancur berkeping-keping, hanya akan memanggil-manggil namamu,
Laila”.
Sebagai jawabannya, Laila
mengirimkan sebuah anting-anting sebagai tanda pengabdian tradisional. Dalam
surat yang disertakannya, ia mengatakan, “Dalam hidupku, aku tidak bisa
melupakanmu barang sesaat pun. Kupendam cintaku demikian lama, tanpa mampu
menceritakannya kepada siapapun. Engkau memaklumkan cintamu ke seluruh dunia,
sementara aku membakarnya di dalam hatiku, dan engkau membakar segala sesuatu
yang ada di sekelilingmu” .
“Kini, aku harus menghabiskan
hidupku dengan seseorang, padahal segenap jiwaku menjadi milik orang lain.
Katakan kepadaku, kasih, mana di antara kita yang lebih dimabuk cinta, engkau
ataukah aku?.
Tahun demi tahun berlalu, dan
orang-tua Majnun pun meninggal dunia. Ia tetap tinggal di reruntuhan bangunan
itu dan merasa lebih kesepian ketimbang sebelumnya. Di siang hari, ia
mengarungi gurun sahara bersama sahabat-sahabat binatangnya. Di malam hari, ia
memainkan serulingnya dan melantunkan syair-syairnya kepada berbagai binatang
buas yang kini menjadi satu-satunya pendengarnya. Ia menulis syair-syair untuk
Laila dengan ranting di atas tanah.
Selang beberapa lama, karena terbiasa
dengan cara hidup aneh ini, ia mencapai kedamaian dan ketenangan sedemikian
rupa sehingga tak ada sesuatu pun yang sanggup mengusik dan mengganggunya.
Sebaliknya, Laila tetap setia pada cintanya. Ibn Salam tidak pernah berhasil
mendekatinya.
Kendatipun ia hidup bersama Laila,
ia tetap jauh darinya. Berlian dan hadiah-hadiah mahal tak mampu membuat Laila
berbakti kepadanya. Ibn Salam sudah tidak sanggup lagi merebut kepercayaan dari
istrinya. Hidupnya serasa pahit dan sia-sia. Ia tidak menemukan ketenangan dan
kedamaian di rumahnya. Laila dan Ibn Salam adalah dua orang asing dan mereka
tak pernah merasakan hubungan suami istri. Malahan, ia tidak bisa berbagi kabar
tentang dunia luar dengan Laila.
Tak sepatah kata pun pernah
terdengar dari bibir Laila, kecuali bila ia ditanya. Pertanyaan ini pun
dijawabnya dengan sekadarnya saja dan sangat singkat. Ketika akhirnya Ibn Salam
jatuh sakit, ia tidak kuasa bertahan, sebab hidupnya tidak menjanjikan harapan
lagi. Akibatnya, pada suatu pagi di musim panas, ia pun meninggal dunia.
Kematian suaminya tampaknya makin
mengaduk-ngaduk perasaan Laila. Orang-orang mengira bahwa ia berkabung atas
kematian Ibn Salam, padahal sesungguhnya ia menangisi kekasihnya, Majnun yang
hilang dan sudah lama dirindukannya. Selama bertahun-tahun, ia
menampakkan wajah tenang, acuh tak acuh, dan hanya sekali saja ia menangis.
Laila kini, ia menangis keras dan
lama atas perpisahannya dengan kekasih satu-satunya. Ketika masa berkabung
usai, Laila kembali ke rumah ayahnya. Meskipun masih berusia muda, Laila tampak
tua, dewasa, dan bijaksana, yang jarang dijumpai pada diri wanita seusianya.
Sementara api cintanya makin membara, kesehatan Laila justru memudar karena ia
tidak lagi memperhatikan dirinya sendiri. Ia tidak mau makan dan juga tidak
tidur dengan baik selama bermalam-malam.
Bagaimana ia bisa memperhatikan
kesehatan dirinya kalau yang dipikirkannya hanyalah Majnun semata? Laila
sendiri tahu betul bahwa ia tidak akan sanggup bertahan lama. Akhirnya,
penyakit batuk parah yang mengganggunya selama beberapa bulan pun menggerogoti
kesehatannya. Ketika Laila meregang nyawa dan sekarat, ia masih memikirkan
Majnun.
Ah, kalau saja ia bisa berjumpa
dengannya sekali lagi untuk terakhir kalinya! Ia hanya membuka matanya untuk
memandangi pintu kalau-kalau kekasihnya datang. Namun, ia sadar bahwa waktunya
sudah habis dan ia akan pergi tanpa berhasil mengucapkan salam perpisahan
kepada Majnun. Pada suatu malam di musim dingin, dengan matanya tetap menatap
pintu, ia pun meninggal dunia dengan tenang sambil bergumam, Majnun…Majnun.
.Majnun.
Kabar tentang kematian Laila
menyebar ke segala penjuru negeri dan, tak lama kemudian, berita kematian
Lailapun terdengar oleh Majnun. Mendengar kabar itu, ia pun jatuh pingsan di
tengah-tengah gurun sahara dan tetap tak sadarkan diri selama beberapa hari.
Ketika kembali sadar dan siuman, ia segera pergi menuju desa Laila.
Nyaris tidak sanggup berjalan lagi,
ia menyeret tubuhnya di atas tanah. Majnun bergerak terus tanpa henti hingga
tiba di kuburan Laila di luar kota . Ia berkabung dikuburannya selama beberapa
hari.
Ketika tidak ditemukan cara lain
untuk meringankan beban penderitaannya, per1ahan-lahan ia meletakkan kepalanya
di kuburan Laila kekasihnya dan meninggal dunia dengan tenang. Jasad Majnun
tetap berada di atas kuburan Laila selama setahun. Belum sampai setahun
peringatan kematiannya ketika segenap sahabat dan kerabat menziarahi
kuburannya, mereka menemukan sesosok jasad terbujur di atas kuburan Laila.
Beberapa teman sekolahnya mengenali
dan mengetahui bahwa itu adalah jasad Majnun yang masih segar seolah baru mati
kemarin. Ia pun dikubur di samping Laila. Tubuh dua kekasih itu, yang kini
bersatu dalam keabadian, kini bersatu kembali.
Diambil dari Negeri Sufi ( Tales
from The Land of Sufis )
Tentang Penulis Laila Majnun, Syaikh
Sufi Mawlana Hakim Nizhami qs :
Syaikh Hakim Nizhami qs merupakan penulis sufi terkemuka diabad pertengahan karena dua roman cinta yang menyayat hati, yaitu Laila & Majnun serta Khusrau & Syirin. Kisah sedih Laila & Majnun , dimana Majnun yang berarti “Tergila-gila akan Cinta”, karena cintanya yang tak sampai pada Laila, akhirnya membuatnya gila.
Syaikh Hakim Nizhami qs merupakan penulis sufi terkemuka diabad pertengahan karena dua roman cinta yang menyayat hati, yaitu Laila & Majnun serta Khusrau & Syirin. Kisah sedih Laila & Majnun , dimana Majnun yang berarti “Tergila-gila akan Cinta”, karena cintanya yang tak sampai pada Laila, akhirnya membuatnya gila.
Tag :
cerpen
0 Komentar untuk "Kisah Cinta Majnun (Qais) dan Laila"